Orang sakit adalah orang yang lemah, yang memerlukan perlindungan dan sandaran. Perlindungan (pemeliharaan, penjagaan) atau sandaran itu tidak hanya berupa material sebagaimana anggapan banyak orang, melainkan dalam bentuk materiil dan spiritual sekaligus.
Menjenguk si sakit ini memberi perasaan kepadanya bahwa orang
di sekitarnya (yang menjenguknya) menaruh perhatian kepadanya, cinta kepadanya,
menaruh keinginan kepadanya, dan mengharapkan agar dia segera sembuh.
Faktor-faktor spiritual ini akan memberikan kekuatan dalam jiwanya untuk
melawan serangan penyakit lahiriah. Oleh sebab itu, menjenguk orang sakit,
menanyakan keadaannya, dan mendoakannya merupakan bagian dari pengobatan
menurut orang-orang yang mengerti. Maka pengobatan tidak seluruhnya bersifat materiil
(kebendaan).
Karena itu, hadits-hadits Nabawi menganjurkan “menjenguk
orang sakit” dengan bermacam-macam metode dan dengan menggunakan bentuk targhib
wat-tarhib (menggemarkan dan menakut-nakuti yakni menggemarkan orang yang
mematuhinya dan menakut-nakuti orang yang tidak melaksanakannya).
Diriwayatkan di dalam hadits sahih muttafaq ‘alaih dari Abu
Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Hak
orang muslim atas orang muslim lainnya ada lima: menjawab salam, menjenguk yang
sakit, mengantarkan jenazahnya, mendatangi undangannya, dan mendoakannya ketika
bersin.”
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari, ia
berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Berilah makan orang yang lapar, jenguklah
orang yang sakit, dan tolonglah orang yang kesusahan.”
Imam Bukhari juga meriwayatkan dari al-Barra’ bin Azib, ia
berkata, “Rasulullah saw. menyuruh kami melakukan tujuh perkara … Lalu
ia menyebutkan salah satunya adalah menjenguk orang sakit.”
Apakah perintah dalam hadits di atas dan hadits sebelumnya
menunjukkan kepada hukum wajib ataukah mustahab? Para ulama berbeda pendapat
mengenai masalah ini.
Imam Bukhari berpendapat bahwa perintah disini menunjukkan
hukum wajib. Sedangkan menurut Ibnu Baththal, “Kemungkinan perintah ini
menunjukkan hukum wajib dalam arti wajib kifayah, seperti memberi makan orang
yang lapar dan melepaskan tawanan; dan boleh jadi mandub (sunnah), untuk
menganjurkan menyambung kekeluargaan dan berkasih sayang.”
Ad-Dawudi memastikan hukum yang pertama (yakni fardhu
kifayah). Beliau berkata, “Hukumnya adalah fardhu, yang dipikul oleh sebagian
orang tanpa sebagian yang lain.”
Jumhur ulama berkata, “Pada asalnya hukumnya mandub (sunnah),
tetapi kadang-kadang bisa menjadi wajib bagi orang tertentu.”
Sedangkan ath-Thabari menekankan bahwa menjenguk orang sakit
itu merupakan kewajiban bagi orang yang diharapkan berkahnya, disunnahkan bagi
orang yang memelihara kondisinya, dan mubah bagi orang selain mereka.
Imam Nawawi mengutip kesepakatan (ijma’) ulama tentang tidak
wajibnya, yakni tidak wajib ‘ain.
Adapun masyarakat secara umum, maka hukumnya sunnah
muakkadah, dan kadang-kadang bisa meningkat menjadi wajib bagi orang tertentu
yang mempunyai hubungan khusus dan kuat dengan si sakit. Misalnya, kerabat,
semenda, tetangga yang berdampingan rumahnya, or
ang yang telah lama menjalin persahabatan, sebagai hak guru dan kawan akrab, dan lain-lainnya, yang sekiranya dapat menimbulkan kesan yang macam-macam bagi si sakit seandainya mereka tidak menjenguknya, atau si sakit merasa kehilangan terhadap yang bersangkutan (bila tidak menjenguknya).
ang yang telah lama menjalin persahabatan, sebagai hak guru dan kawan akrab, dan lain-lainnya, yang sekiranya dapat menimbulkan kesan yang macam-macam bagi si sakit seandainya mereka tidak menjenguknya, atau si sakit merasa kehilangan terhadap yang bersangkutan (bila tidak menjenguknya).
Barangkali orang-orang macam inilah yang dimaksud dengan
perkataan haq (hak) dalam hadits: “Hak orang muslim terhadap muslim lainnya ada
lima,” karena tidaklah tergambarkan bahwa seluruh kaum muslim harus menjenguk setiap
orang yang sakit. Maka yang dituntut ialah orang yang memiliki hubungan khusus
dengan si sakit yang menghendaki ditunaikannya hak ini.
Disebutkan dalam Nailul-Authar: “Yang dimaksud dengan sabda
beliau (Rasulullah saw.) ‘hak orang muslim’ ialah tidak layak ditinggalkan, dan
melaksanakannya ada kalanya hukumnya wajib atau sunnah muakkadah yang
menyerupai wajib. Sedangkan menggunakan perkataan tersebut -yakni haq (hak)-
dengan kedua arti di atas termasuk bab menggunakan lafal musytarik dalam kedua maknanya,
karena lafal al-haq itu dapat dipergunakan dengan arti ‘wajib’, dan dapat juga
dipergunakan dengan arti ‘tetap,’ ‘lazim,’ ‘benar,’ dan sebagainya.”
Keutamaan dan Pahala Menjenguk Orang Sakit
Diantara yang memperkuat kesunnahan menjenguk orang sakit
ialah adanya hadits-hadits yang menerangkan keutamaan dan pahala orang yang
melaksanakannya, misalnya:
1. Hadits Tsauban yang marfu’ (dari Nabi saw.), “Sesungguhnya apabila seorang muslim menjenguk orang muslim lainnya, maka ia berada di dalam khurfatul jannah.”
2. Dalam riwayat lain ditanyakan kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, apakah khurfatul jannah itu?” Beliau menjawab, “Yaitu taman buah surga.”
1. Hadits Tsauban yang marfu’ (dari Nabi saw.), “Sesungguhnya apabila seorang muslim menjenguk orang muslim lainnya, maka ia berada di dalam khurfatul jannah.”
2. Dalam riwayat lain ditanyakan kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, apakah khurfatul jannah itu?” Beliau menjawab, “Yaitu taman buah surga.”
3. Hadits Jabir yang marfu’, “Barangsiapa yang menjenguk
orang sakit berarti dia menyelam dalam rahmat, sehingga ketika dia duduk
berarti dia berhenti disitu (didalam rahmat).”
4. Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia
berkata: Rasulullah saw. Bersabda, “Barangsiapa menjenguk orang sakit maka
berserulah seorang penyeru dari langit (malaikat), ‘Bagus engkau, bagus
perjalananmu, dan engkau telah mempersiapkan tempat tinggal di dalam surga.”
5. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa
Rasulullah saw. Bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla akan berfirman pada
hari kiamat, ‘Hai anak Adam, Aku sakit, tetapi kamu tidak menjenguk-Ku.’ Orang
itu bertanya, ‘Oh Tuhan, bagaimana aku harus menjengukMu sedangkan Engkau
adalah Tuhan bagi alam semesta?’ Allah menjawab, ‘Apakah kamu tidak tahu bahwa
hamba-Ku si Fulan sedang sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya? Apakah kamu
tidak tahu bahwa seandainya kamu menjenguknya pasti kamu dapati Aku di sisinya?’
‘Hai anak Adam, Aku minta makan kepadamu, tetapi tidak kamu beri Aku makan.’
Orang itu menjawab, ‘Ya Rabbi, bagaimana aku memberi makan Engkau, sedangkan
Engkau adalah Tuhan bagi alam semesta?’ Allah menjawab, ‘Apakah kamu tidak tahu
bahwa hamba-Ku si Fulan meminta makan kepadamu, tetapi tidak kauberi makan?
Apakah kamu tidak tahu bahwa seandainya kamu beri makan dia niscaya kamu dapati
hal itu di sisiKu?’ ‘Wahai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tetapi tidak
kamu beri minum.’ Orang itu bertanya, ‘Ya Tuhan, bagaimana aku memberi-Mu minum
sedangkan Engkau Tuhan bagi alam semesta?’Allah menjawab, ‘Hamba-Ku si Fulan
meminta minum kepadamu, tetapi tidak kamu beri minum. Apakah kamu tidak tahu
bahwa seandainya kamu memberinya minum niscaya akan kamu dapati (balasannya)
itu di sisi-Ku?”
5. Diriwayatkan dari Ali r.a., ia berkata: Saya mendengar
Rasulullah saw. bersabda, “Tiada seorang muslim yang menjenguk orang muslim lainnya
pada pagi hari kecuali ia didoakan oleh tujuh puluh ribu malaikat hingga sore
hari; dan jika ia menjenguknya pada sore hari maka ia didoakan oleh tujuh puluh
ribu malaikat hingga pagi hari, dan baginya kurma yang dipetik di taman surga.”
(HR Tirmidzi, dan beliau berkata, “Hadits hasan.”)
Sumber : Fatwa-fatwa Kontemporer (Dr. Yusuf Al-Qardhawi)
mengulas seidikit sebanyak tentang tradisi menjenguk orang
sakit yang semakin menghilang dalam generasi anak muda kini amatlah
membingungkan. " tak suka pergi hospital", "tak berapa kenal
buat apa nak jenguk", " tak cukup masa" dan pelbagai lagi alasan
yang tumbuh. Seakan sudah hilang rasa tanggungjawab yang telah ditetap oleh
ALLAH S.W.T kepadanya. Semoga syawal yang mulia ini mampu memupuk minat ziarah
dalam kalangan anak muda bukan sahaja ketika mereka sakit, malahan ketika sanak
saudara & sahabat handai masih sihat.
^_^ salam kembali kepada Fitrah. ziarahlah!
Tiada ulasan:
Catat Ulasan